Rini. Ya… Rini
adalah nama yang tak kan pernah berlalu dari benakku. Dia teman terbaik yang
pernah kumiliki. Anaknya pandai, pendiam, dan dia sangat sayang padaku. Senang,
sedih, suka, maupun duka kita selalu lalui bersama.
Saat aku bangun
dan melihat jam warna pink kesukaanku…” Mama kenapa aku nggak dibangunin? “ aku
berteriak sejadi-jadinya mungkin hingga radius 1 km. “ Kamu itu udah
dibangunin 100 kali tapi tetep aja nggak
bangun-bangun ! “ kata mamaku yang tak kalah kerasnya.
Maklumlah, tadi
malam ada pesta ulang tahun adik sepupuku. Pulangnya saja sampai jam satu. Mungkin
karena lelahnya, aku tak mendengar jam bekerku berdering. Secepat mungkin aku
lekas mandi, lalu aku berangkat ke sekolah.
Sampai di
sekolah aku langsung masuk ke kelas. Disana aku menemukan sosok yang sangat aku
kenali. Tentu saja Rini. Aku pun langsung duduk dibangku sebelah Rini.
“ Tumben kamu
terlambat ? “ tanya Rini.
“ Ia nih… tadi
malam ada acara ulang tahun adikku. Itu tuh, Dika. Jadi bangun kesiangan deh… “
“ O… gitu. Oh
iya, kamu udah ngerjain PR satra indonesia belum ? “
“ Hah ? PR ?
PR sastra indonesia ? “
“ Iya, pasti
kamu belum ngerjain khan ? “
“ Hehehe…”
kataku sambil nyengir.
“ Ya udah, ini
! Nyontek punya aku aja !”
“ Bener nih ?
Nggak papa ? “
“ Iya… Cepetan
keburu Pak Didik dateng loh ! “
Secepat kilat
aku menyalin semua jawaban Dini. Tak perlu ragu benar atau salah. Dijamin aku
pasti dapat 100.
Ting… tong…
Bel sekolah
berbunyi tanda istirahat. Karena aku ingin berterima kasih pada Rini, kuajak
dia ke kantin sekaligus ku traktir. Ya, mungkin hanya itulah yang bisa
kuberikan padanya.
Hari demi hari,
waktu demi waktu hingga akhirnya hari keramat itu datang.
Kring…
Suara telepon
di kamarku berdering. Nomer tak dikenal. Siapa ya ? dalam benakku.
“ Hallo,
Assalamu alaikum. “
“ Walaikum salam, “ kata seseorang disana
sambil terisak tangis.
“ Maaf, ini
siapa ya ? “
“ Ini Ibu Rina,
ibunya Rini. “
“ O… iya, Bu,
ada apa ? “
“ Kamu bisa
datang kesini ? “
“ Memangnya ada
apa, Bu ? “
Tut… tut… tut…
Sambungan terputus. Dengan hati penasaran, aku bergegas ke rumah Rini.
Sesampainya di
rumah Rini, aku melihat bendera kuning. Gubrak… siapa yang meninggal? Ayah Rini
? Tapi ayah Rini sudah meninggal sejak Rini berumur 3 tahun. Ibunya ? Tak
mungkin, tadi khan ibunya Rini yang menelponku. Lantas siapa ?
Sampai didepan pintu rumah Rini aku terpaku sampai-sampai
tak dapat berkedip. Rini. Rini sudah terbujur kaku disana. Aku langsung
terjatuh dan air mata berlinang deras dipipiku. Aku tak menyangka, aku tak
dapat mengira apa yang telah terjadi pada Rini. Tak lama, aku mendekat pada ibu
Rini.
“ Kenapa bisa
begini, Bu ? “ tanyaku sambil mengharap jawaban.
“ Rini
tertabrak mobil saat menyebrang, “ kata ibu Rini dengan terbata-bata.
Seakan tak
ingin menambah sedih ibu Rini, aku berpindah tempat disebelah ibu-ibu yang
melayat. Aku mengikuti semua prosesi pemakaman Rini.
Rini, sahabat terbaikku.
Selamat jalan untukmu. Kan ku kenang semua kenangan kita bersama. Jangan
khawatir, aku akan menjaga ibumu. Tenaglah disana, Rin. Aku akan selalu
mendo’akanmu.